Saturday, August 6, 2011

Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum bagian-2

Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum bagian-2

November 21, 2009 by alfanarku

Artikel ini adalah tulisan ke dua yang merupakan sambungan dari artikel sebelumnya di blog ini yaitu Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum bagian-1 , pada tulisan bagian ke dua ini akan banyak dibicarakan mengenai definisi dari kata Maula dan apa makna yang tepat untuk kata Maula yang terdapat pada hadits Ghadir Khum.



Siapa saja yang marah kepada Ali radhiyallahu ‘anhu pada saat itu?

Kaum Syi’ah mengklaim bahwa hanya Khalid ra dan Buraidah ra yang marah kepada Ali ra.

Taair-al-Quds, Admin of ShiaOfAhlAlBayt mengatakan :

Tak ada hadits yang menyebutkan pihak ketiga selain Khalid bin Walid dan Buraidah (atau Bara di riwayat tirmidzi) sebagai pengkomplain atau orang yang memulai mengkampanyekan kebencian kepada Imam Ali (as) sebagaimana dilaporkan dalam kejadian ini.

Ini adalah kebohongan lain yang nyata dari Taair-al-Quds, kenyataannya, semua (atau paling tidak sebagian besar) pasukan Ali ra marah pada beliau. Bukan hanya satu atau dua orang dari pasukan saja. Syaikh Mufit menulis :

Amirul mukminin as mengambil kembali baju besi tersebut dari orang-orang dan menaruhnya kembali ke karung-karung. Mereka (pasukan Ali as) merasa tidak puas kepada Ali karena hal itu. Ketika mereka datang ke Mekah, mereka komplain kepada Amirul Mukminin as berkali-kali. Rasulullah (s) berseru diantara orang-orang : “Hentikan lisanmu terhadap Alibin Abi Thalib, dia adalah seorang yang tajam untuk kepentingan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi, bukan orang yang menipu dalam agamanya…

(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufit, hal 121-122)

Yang melakukan komplain terhadap Ali ra adalah sejumlah besar dan itu adalah kumpulan orang-orang yang merasa kecewa (bukan satu atau dua orang saja), dan Nabi shalallahu alaihi wassalam menyeru kepada orang-orang secara umum. Itu jelas mayoritas dari pasukan Ali ra yang kecewa terhadap dia karena dia menolak untuk mengijinkan mereka untuk memakai baju besi dari harta khumus. Oleh karena itu, adalah hal yang tidak benar, menyalahkan satu atau dua orang individu saja, tetapi yang benar dari kejadian tersebut bahwa Ali ra telah membuat marah seluruh pasukannya. Dan kita berlindung kepada Allah dari menyalahkan seseorang khususnya setelah Nabi shalallahu alaihi wassalam sendiri telah memaafkan Buraidah ra dan yang lainnya. Poin yang perlu digarisbawahi, bagaimanapun juga, banyak orang yang marah kepada Ali ra dan ini adalah alasan mengapa Nabi shalallahu alaihi wassalam harus membuat suatu deklarasi/pernyataan di Ghadir Khum untuk membebaskan Ali ra dari segala tuduhan dan bukan untuk menunjuk Ali ra sebagai pengganti beliau.



Tambahan-tambahan Palsu

Taktik yang biasa digunakan Syi’ah untuk membodohi kaum Sunni yang awwam adalah dengan menyatakan yang pertama kali bahwa hadits Ghadir Khum adalah tercantum dalam Bukhari dan sebagian besar kitab-kitab Sunni terpercaya (seringkali dengan cara membuat kaum Sunni terkesan dengan menyebutkan banyak referensi), dan kemudian mereka mulai menukil dari versi-versi yang berbeda dari sumber-sumber yang samar dan tidak dipercaya yang menggambarkan Ghadir Khum dengan kejadian yang sangat berbeda dibandingkan dengan yang sesungguhnya dinyatakan dalam kitab-kitab yang shahih. Taktik membodohi orang ini disebut “acceptance by association”.

Kenyataanya, hanya ada dua tambahan pada hadits tersebut yang dipertimbangkan shahih dan itupun hanya oleh beberapa ulama saja. Untuk tujuan berdialog, bagaimanapun kami akan menerimanya sebagai shahih. Sekali lagi, dua tambahan tersebut tidak ada dalam shahihain tetapi tambahan-tambahan tersebut ada pada riwayat-riwayat yang berbeda dalam kitab-kitab yang lain. Sebagaimana para pelajar jurusan hadits mengetahuinya, bahwa hadits mempunyai berbagai macam tingkatan. Untuk hadits Ghadir Khum, yang tershahih adalah apa yang tercantum dalam shahih Bukhari :

4350 – حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سُوَيْدِ بْنِ مَنْجُوفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيًّا إِلَى خَالِدٍ لِيَقْبِضَ الْخُمُسَ وَكُنْتُ أُبْغِضُ عَلِيًّا وَقَدْ اغْتَسَلَ فَقُلْتُ لِخَالِدٍ أَلَا تَرَى إِلَى هَذَا فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ يَا بُرَيْدَةُ أَتُبْغِضُ عَلِيًّا فَقُلْتُ نَعَمْ قَالَ لَا تُبْغِضْهُ فَإِنَّ لَهُ فِي الْخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ

(5/163)

Diriwayatkan oleh Buraidah ra :

Nabi shalallahu alaihi wassalam mengirimkan Ali kepada Khalid untuk membawa harta Khumus (dari harta rampasan perang) dan saya membenci Ali, dan Ali selesai mandi junub (sesudah mencampuri seorang budak wanita yang merupakan bagian dari khumus). Saya katakan kepada Khalid “Tidak kah kamu melihat ini (Ali)?” ketika kami menjumpai Nabi shalallahu alihi wassalam, saya menyebutkan hal itu kepada beliau. Beliau (Nabi shalallahu alaihi wassalam) berkata, “Ya Buraidah! Apakah kamu membenci Ali?” Saya menjawab, “Ya” Beliau berkata, “Apakah kamu membencinya, untuk dia berhak lebih dari itu mengambil dari Khumus.”

(Shahih Bukhari, Kitab Al-Maghazi, 5/163 No. 4350)

Hadits di atas adalah versi Ghadir Khum yang diriwayatkan dalam shahihain, tanpa menyebutkan sama sekali kata “Maula”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : untuk perkataan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam “siapa yang menganggap aku Maula nya, Ali adalah Maula nya”, ini tidak terdapat dalam kitab Shahih (Bukhari dan Muslim), tetapi ini adalah satu dari kabar-kabar yang diriwayatkan oleh para ulama dan mengenai keshahihannya orang masih memperdebatkannya.”

dua tambahan tersebut adalah :

1) Tambahan pertama : “Man Kuntu Mawla fa’ Ali Mawla.”

2) Tambahan kedua : “Allahummu wali man waalah wa ‘adi man ‘adaah.”

Tambahan yang pertama secara umum diterima, dan yang kedua lebih lemah tetapi beberapa ulama berpendapat bahwa tambahan itu shahih. Sejauh yang diketahui, tambahan-tambahan yang lain tidak terdapat di kitab-kitab shahih bahkan maudu’ atau palsu. Umumnya, Syi’ah mengisi dasar argumentasi mereka atas dua tambahan ini, tetapi tidak diragukan setelah itu semua dibantah, mereka akan seringkali kemudian berlindung dengan menggunakan sumber-sumber yang tidak jelas untuk membuat tambahan-tambahan lebih lanjut seperti Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan Ali ra adalah Washi, khalifah, Imam dan lain-lain. Itu semua adalah palsu, dan sejarah telah menjadi saksi kaum Syi’ah telah biasa membuat hadits-hadits palsu. Syi’ah dapat membuat daftar referensi tidak jelas yang begitu panjang tentang Ghadir Khum karena mereka sendirilah yang bertanggung jawab terhadap begitu banyaknya riwayat-riwayat palsu sehubungan dengan Ghadir Khum.

Kita telah melihat di atas versi Ghadir Khum dalam shahih bukhari dan dalam hadits tersebut sama sekali tidak tercantum tambahan kata “Maula”. Sedangkan tambahan kata “Maula” baru dapat ditemukan dalam variasi hadits dalam kitab-kitab yang lain seperti berikut ini :

22995 – حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا الفضل بن دكين ثنا بن أبي عيينة عن الحسن عن سعيد بن جبير عن بن عباس عن بريدة قال Y غزوت مع علي اليمن فرأيت منه جفوة فلما قدمت على رسول الله صلى الله عليه و سلم ذكرت عليا فتنقصته فرأيت وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم يتغير فقال يا بريدة ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم قلت بلى يا رسول الله قال من كنت مولاه فعلي مولاه K إسناده صحيح على شرط الشيخين

Buraidah ra meriwayatkan: “Saya menyerang Yaman dengan Ali dan saya melihat kekerasan hati dari dirinya, lalu ketika saya kembali menghadap Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan menyebut tentang Ali dan mengkritiknya, saya melihat wajah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berubah dan beliau berkata : “Ya Buraidah, Bukankah saya lebih dekat/lebih berhak atas orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri?” Saya jawab “Benar ya Rasulullah”, beliau berkata “Siapa yang menganggap aku Maula-nya maka Ali adalah Maula-nya juga”

(Musnad Ahmad 5/347 No. 22995) Syaikh Al-Arnauut mengatakan sanad hadits ini shahih sesuai dengan syarat Syaikhain, (An-Nasaa’i dalam Sunan al-Kubra 5/45 No. 8145), (Al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/119 No. 4578), Abu Nu’aim, Ibnu Jarir dan yang lainnya.

Dalam versi lain yang sedikit berbeda :

Buraidah ra menceritakan : “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengirimku ke Yaman bersama Ali dan saya melihat kekerasan hati dari dirinya, ketika saya kembali dan saya komplain tentangnya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengangkat kepalanya kepadaku dan bersabda : “Ya Buraidah! Siapa yang menganggap aku Mawla-nya maka Ali adalah Mawla-nya juga”

(Sunan al-Kubra 5/130 No. 8466, riwayat yang serupa dapat ditemukan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah)

Dalam riwayat-riwayat yang lain, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Allahummu wali man waalah wa ‘adi man ‘adaah” diterjemahkan “Ya Allah, jadikan teman, orang-orang yang menjadi temannya, dan jadikan musuh orang-orang yang memusuhinya” beberapa ulama telah meragukan keshahihan pernyataan ini, tetapi di sini kami akan menerima tambahan kedua ini sebagai shahih.

Hanya ada dua tambahan tersebut di atas pada hadits Ghadir Khum yang dapat dipertimbangkan shahih, dan oleh karena itu kami hanya akan berhubungan dengan dua tambahan tersebut saja.



Definisi Maula

Syi’ah mengklaim bahwa kata “Maula” di sini adalah berarti “Pemimpin”. Ini adalah penterjemahan yang keliru dari kata tersebut yang mereka mengklaim bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menunjuk Ali ra sebagai pengganti beliau. Pada kenyataannya, kata “Maula” – seperti kata dalam bahasa Arab yang lainnya- mempunyai banyak makna. Orang syi’ah yang awwam mungkin akan terkejut jika mereka mengetahui bahwa sesungguhnya definisi yang paling banyak digunakan untuk kata Maula adalah “pelayan” bukan “pemimpin”. Seorang mantan budak yang menjadi pelayan dan tidak mempunyai hubungan suku disebut sebagai seorang “Maula”, seperti Salim yang dipanggil Salim Maula Abu Hudzaifah karena dia adalah pelayan Abu Hudzaifah.

Hanya diperlukan membuka sebuah kamus bahasa Arab untuk menjumpai berbagai macam definisi dari kata “Maula”. Ibnu Al-Atsir mengatakan bahwa kata “Maula” dapat digunakan untuk mengartikan diantaranya : Tuan, Pemilik, Penolong, Pembebas, Yang membantu, Kekasih, Pendukung, Budak, Pelayan, Saudara Ipar, Saudara Sepupu, Teman dan lain-lain.

Sekarang mari kita uji lagi hadits tersebut :

“Siapa yang menanggap aku sebagai maula-nya, maka Ali sebagai maula-nya, Ya Allah jadikan teman siapa saja yang jadi temannya dan jadikan musuh siapa saja yang memusuhinya”

Kata “Maula” di sini tidak dapat diartikan dengan “pemimpin”, tetapi terjemahan terbaik untuk kata “Maula” adalah “seorang teman yang dicintai”. Ini jelas bahwa “Maula” di sini merujuk pada cinta atau hubungan yang dekat, bukan khalifah dan imamah. Muwalat (Cinta) adalah lawan dari Mu’adat (kebencian/rasa permusuhan). Definisi kata “Maula” tersebut adalah yang paling masuk akal sehubungan dengan konteksnya, karena kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan tiba-tiba berkata “Ya Allah jadikan teman siapa saja yang jadi temannya dan jadikan musuh siapa saja yang memusuhinya”.

Syi’ah mungkin menolak untuk percaya bahwa Maula di sini maksudnya adalah “teman yang dicintai atau sahabat” dan kenyataannya adalah kata ini tidak bisa diterjemahkan dengan cara yang lain karena tambahan kalimat yang kedua dari riwayat di atas adalah tentang pertemanan dengan-nya (Ali ra), bukan tentang dibawah aturan-nya (Ali ra) atau hal-hal yang seperti itu. Sungguh hal yang susah dipercaya, Syi’ah bisa menterjemahkannya dengan Khalifah atau Imam yang konteksnya tidak ada hubungannya dengan hal itu.

Al-Jazari berkata dalam al-Nihayah :

Kata Maula sering disebutkan di dalam hadits, dan ini adalah sebuah nama yang diterapkan pada banyak hal. Ini bisa merujuk pada seorang tuan, seorang pemilik, seorang pemimpin, seorang penolong, seorang budak yang merdeka, seorang pendukung, seorang yang mencintai sesama, seorang pengikut, seorang tetangga, saudara sepupu, seorang pendukung, saudara ipar, seorang budak, seorang yang telah berbuat baik. Sebagian besar makna-makna ini disebutkan dalam berbagai macam hadits, sehingga akan bisa dimengerti dalam aturan yang sedang diterapkan oleh konteks hadits dimana kata itu disebutkan.

Imam Syafi’i berkata dalam hubungannya dengan kata Maula dalam hadits khusus Ghadir Khum ini:

“Apa yang dimaksud dengan itu adalah ikatan (persahabatan, persaudaraan dan cinta) dalam Islam”.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an :

“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir, tempat kamu ialah neraka, dialah tempat berlindungmu (Maula). Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.” (QS 57:15)

Tidak ada penterjemah di bumi ini yang pernah menterjemahkannya dengan “Imam” atau “Khalifah”, yang akan menjadikan ayat tersebut menjadi tidak berarti. Neraka di atas disebut sebagai Maula untuk orang-orang kafir karena sangat dekatnya mereka dengannya, dan ini adalah definisi untuk kata Maula yang disebutkan dalam hadits Ghadir Khum (kedekatan yang sangat antara Nabi shalalalahu ‘alaihi wasallam, Ali dan kaum mukminin). Sesungguhnya, kata Maula berasal dari kata “Wilayah” bukan “Walayah”. Wilayah merujuk kepada cinta dan pertolongan, dan tidak dibingungkan dengan Walayah yang merujuk pada kepemimpinan.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an :

Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung. (QS 47:11)

Ayat tersebut tidak merujuk pada makna Khalifah atau Imamah, tetapi lebih merujuk pada sebuah perlindungan dari Teman yang dekat, selain daripada itu, ayat ini akan menjadi tidak masuk akal. Para komentator Syi’ah tampaknya mengabaikan bagian kedua dari ayat ini dimana Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai Maula”. Apakah kalimat ini bisa diartikan bahwa orang-orang kafir tidak mempunyai pemimpin? Tentu saja orang-orang kafir juga punya pemimpin, seperti misalnya orang-orang kafir di Amerika dipimpin oleh George Bush sebagai pemimpin mereka. Al-Qur’an sendiri telah menyebutkan bahwa orang-orang kafir mempunyai pemimpin:

maka perangilah pemimpin-pemimpin (Imam) orang-orang kafir itu (QS 9:12)

Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin (Imam) yang menyeru (manusia) ke neraka (QS 28:41)

Sehingga ketika Allah berfirman “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai Maula”, ini merujuk kepada makna sebuah perlindungan yang sangat dekat, bukan bermakna mereka tidak mempunyai pemimpin. Ayat ini tidak menggunakan Maula dalam pengertian Imam atau Khalifah sama sekali, tetapi lebih merujuk kepada makna sebuah perlindungan yang dekat.

Hadits Ghadir Khum dimaksudkan dalam hal yang sama. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menasehati orang-orang agar mencintai Ali ra dan dekat dengannya. Dan ini adalah apa yang sesungguhnya Abu Bakar ra, Umar ra dan Utsman ra lakukan (mereka menjadi sahabat Ali ra). Pada kenyataannya Umar begitu disayangi Ali ra yang dia telah menikahkan putrinya dengan Umar ra. Ali menjadi wazir dan orang kepercayaan ketiga khalifah tersebut, saling menyayangi dan mengagumi terjadi diantara tiga khalifah ra dan Ali ra. Dengan kata lain, hadits Ghadir khum tidak ada hubungannya dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menunjuk Ali ra sebagai pengganti beliau, tetapi untuk menghentikan kritikan orang-orang kepada Ali ra dan himbauan agar mencintainya.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

Sesungguhnya penolong (sahabat, teman yang dicintai) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya (sahabat, teman yang dicintai), maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS 5:55-56).

Dalam ayat ini Allah menunjuk semua orang-orang yang beriman sebagai Maula. Bagaimana bisa Syi’ah mengklaim bahwa kata Maula tersebut merujuk kepada khalifah atau imamah, konsekuensinya, berarti semua orang-orang beriman adalah imam atau khalifah?? (untuk ayat ini, Syi’ah membuat klaim dengan keterlaluan bahwa ayat ini merujuk kepada Ali ra saja, meskipun kenyataannya ayat tersebut mengacu kepada orang-orang yang beriman dalam bentuk plural atau jamak. Tidak diragukan, Ali ra sebagaimana orang-orang yang beriman lainnya termasuk yang dimaksud orang-orang yang beriman dalam ayat ini, tetapi tidak bisa ini ditujukan hanya kepadanya saja karena sangat jelas bentuknya adalah plural). Sesungguhnya, kata Maula di sini mengacu kepada cinta, kedekatan yang sangat, dan menolong. Pada kenyataannya, tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an dimana kata Maula digunakan untuk mengacu kepada Imamah atau Khalifah.

Pada ayat yang lain Allah berfirman :

yaitu hari yang seorang karib (Maula) tidak dapat memberi manfaat kepada karibnya (Maulanya) sedikitpun.. (QS 44:41)

Apakah kata Maula dalam ayat tersebut dapat diterjemahkan seperti ini : “yaitu hari yang pemimpin tidak dapat memberi manfaat kepada pemimpinnya sedikitpun..” ? sungguh ini tidak masuk akal. Kita lihat pada ayat ini, Allah sedang berbicara mengenai dua orang dan keduanya disebut sebagai “Maula”, jika Maula diartikan sebagai pemimpin, hanya satu diantara mereka yang dapat disebut pemimpin dari yang lain. Tetapi jika Maula di sini diartikan sahabat atau karib, maka sungguh mereka dapat saling menjadi Maula diantara mereka dan secara bahasa adalah benar memaksudkan keduanya adalah sebagai Maula sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Qur’an.

Kata Maula yang digunakan dalam hadits tersebut berarti sahabat atau karib; Dalam shahih Bukhari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Suku Quraisy, Al-Anshar, Juhaina, Aslam, Ghifar dan Asyja’ adalah para penolong terdekatku (Mawali), dan mereka tidak ada pelindung bagi mereka kecuali Allah dan Rasul-Nya”

Apakah kata “Maula” di sini berarti Khalifah atau Imamah? Apakah berbagai suku Arab tersebut sebagai khalifah atau Imam atas Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Tentu saja tidak. Yang lebih masuk akal adalah mereka sangat dekat dan mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan dengan begitu mereka sebagai Mawali (jamak dari maula).

Kesimpulan :

Kata Maula mempunyai banyak makna, untuk mengetahui makna yang tepat dari kata tersebut harus diperhatikan konteks saat kata tersebut diucapkan. Berdasarkan konteks yang ada, kata Maula yang disebutkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di Ghadir Khum berarti “Sahabat dekat” atau “teman yang dicintai” atau “Karib” dan bukan Khalifah ataupun Imamah.

Bersambung Insya Allah.

Wallahu a’lam

No comments:

Post a Comment