Sunday, August 7, 2011

Ali dan Abbas Menerima Keputusan Abu Bakar dan Umar Mengenai Harta Peninggalan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam


Ali dan Abbas Menerima Keputusan Abu Bakar dan Umar Mengenai Harta Peninggalan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam

June 29, 2011 by alfanarku

Kami telah menurunkan artikel-artikel yang berkaitan dengan fadak ini : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Mewariskan Tanah Fadak kepada Faathimah dan Abu Bakar, Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhum adalah seorang pembohong, pendosa, penipu dan pengkhianat ?. Saya kira pembahasan dalam artikel-artikel tersebut sudah cukup jelas, tetapi saya tidak yakin artikel-artikel tersebut sudah jelas bagi mereka yang sudah terlanjur terinfeksi virus syi’ah, dimana mereka masih saja mempermasalahkan harta yang sudah diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan damai dari sejak lebih seribu tahun lalu. Mengapa mereka (orang syi’ah) masih selalu mempermasalahkannya? Karena mungkin itulah yang mereka bisa lakukan dan menu keyakinan yang mereka miliki tidak lain dan tidak bukan hanya mengekspose kasus-kasus yang sudah selesai ribuan tahun silam dimana para pelakunya sudah menghadap yang Maha Kuasa, hal itu dimaklumi karena jika tidak membahas hal-hal tersebut, sama saja mereka merasa seperti tidak punya keyakinan.

Salah seorang syi’ah mengatakan bahwa Ali dan Abbas tetap tidak terima atas keputusan Abu Bakar mengenai harta fa’i peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka tetap tidak membenarkan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang disampaikan Abu Bakar bahwa Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang ditinggalkan beliau adalah sedekah. Menurutnya hal ini diketahui karena pada masa pemerintahan Umar mereka masih meminta harta tersebut kepada beliau. Apakah demikian adanya?

Mari kita coba analisa hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini :

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي مَالِكُ بْنُ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ النَّصْرِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَاهُ إِذْ جَاءَهُ حَاجِبُهُ يَرْفَا فَقَالَ هَلْ لَكَ فِي عُثْمَانَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ وَالزُّبَيْرِ وَسَعْدٍ يَسْتَأْذِنُونَ فَقَالَ نَعَمْ فَأَدْخِلْهُمْ فَلَبِثَ قَلِيلًا ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ هَلْ لَكَ فِي عَبَّاسٍ وَعَلِيٍّ يَسْتَأْذِنَانِ قَالَ نَعَمْ فَلَمَّا دَخَلَا قَالَ عَبَّاسٌ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اقْضِ بَيْنِي وَبَيْنَ هَذَا وَهُمَا يَخْتَصِمَانِ فِي الَّذِي أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَنِي النَّضِيرِ فَاسْتَبَّ عَلِيٌّ وَعَبَّاسٌ فَقَالَ الرَّهْطُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اقْضِ بَيْنَهُمَا وَأَرِحْ أَحَدَهُمَا مِنْ الْآخَرِ فَقَالَ عُمَرُ اتَّئِدُوا أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الَّذِي بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ يُرِيدُ بِذَلِكَ نَفْسَهُ قَالُوا قَدْ قَالَ ذَلِكَ فَأَقْبَلَ عُمَرُ عَلَى عَبَّاسٍ وَعَلِيٍّ فَقَالَ أَنْشُدُكُمَا بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمَانِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ ذَلِكَ قَالَا نَعَمْ

Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Malik bin Aus bin Hadatsaan An Nashriy bahwa Umar bin Khattab radiallahu’anhu pernah memanggilnya kemudian penjaga pintunya Yarfaa datang kepada Umar dan berkata “Apakah engkau mengizinkan Utsman, Abdurrahman, Zubair dan Sa’d masuk?. Umar berkata “ya” maka ia menyuruh mereka masuk. Beberapa saat kemudian, ia datang lagi dan berkata kepada Umar “apakah engkau mengizinkan Abbas dan Ali masuk?”. Umar berkata “ya”. Ketika keduanya masuk, Abbas berkata “wahai amirul mukminin putuskanlah antara aku dan orang ini”. Keduanya saat itu berselisih tentang harta yang Allah karuniakan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari bani Nadhir sehingga Ali dan Abbas saling mencela. Sebagian sahabat berkata “wahai amirul mukminin putuskanlah diantara mereka berdua dan tenangkanlah salah seorang dari mereka berdua”. Umar berkata “tenanglah kalian dan aku meminta kepada kalian demi Allah yang dengan izinnya langit dan bumi berdiri apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” yang dimaksud adalah diri Beliau sendiri. Mereka berkata “Beliau berkata demikian”. Kemudian Umar menghadap Abbas dan Ali dan berkata “aku meminta demi Allah apakah kalian berdua mengetahui bahwa Rasulullah berkata seperti itu?”. Mereka berdua berkata “ya” [Shahih Bukhari no 4033]

Di dalam hadits di atas dengan jelas dan tegas disebutkan pembenaran Ali dan Abbas beserta sahabat yang lainnya yang hadir pada saat itu atas hadits yang disampaikan oleh Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan dan apa yang ditinggalkannya adalah sedekah, perkara mereka mengetahui langsung atau tidak langsung mengenai hadits tersebut tidaklah menggugurkan pembenaran mereka atas hadits tersebut. Pembenaran sahabat yang lain atas hadist tersebut dengan perkataan “qad qaala dzalika” “beliau berkata demikian” bisa diartikan mereka mengetahui secara langsung Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda demikian, juga bisa diartikan mereka membenarkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam memang telah bersabda demikian walaupun mereka tidak mendengarnya secara langsung. Jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan di sini. Dan pernyataan di atas adalah sebaik-baik bukti bahwa Ali dan Abbas telah membenarkan hadits tersebut, perlu diingat hal ini mereka tegaskan di masa Umar.

Perlu diketahui bahwa dalam permasalahan ini, Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu bukanlah orang yang bersendirian dalam meriwayatkan hadits. Beberapa shahabat lain memberikan kesaksiannya. Perhatikan riwayat berikut :

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْجُعْفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ خَتَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخِي جُوَيْرِيَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ قَالَ مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلَا دِينَارًا وَلَا عَبْدًا وَلَا أَمَةً وَلَا شَيْئًا إِلَّا بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلَاحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Haarits : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Bukair : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Mu’aawiyyah Al-Ju’fiy : telah menceritakan kepada kami Abi Ishaaq, dari ‘Amru bin Al-Haarits, saudara ipar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – yaitu saudara Juwairiyah binti Al-Haarits – , ia berkata : “Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan dirham, dinar, budak laki-laki maupun perempuan, serta tidak meninggalkan sesuatupun ketika beliau wafat; kecuali bighal beliau yang berwarna putih, senjata, dan sebidang tanah yang beliau jadikan sebagai shadaqah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2739. Lihat juga no. 2873, 2912, 3098, dan 4461].

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَقْتَسِمُ وَرَثَتِي دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا مَا تَرَكْتُ بَعْدَ نَفَقَةِ نِسَائِي وَمَئُونَةِ عَامِلِي فَهُوَ صَدَقَةٌ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyalaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “”Warisanku tidaklah dibagi-bagi baik berupa dinar maupun dirham. Apa yang aku tinggalkan selain berupa nafkah buat istri-istriku dan para pekerjaku, semuanya adalah sebagai shadaqah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2776. Lihat juga no. 3096 dan 6729].

‘Amru bin Al-Haarits dan Abu Hurairah merupakan saksi atas kebenaran hadits Abu Bakr radliyallaahu ‘anhum.

Kemudian orang syi’ah itu menjadikan hadits berikut ini sebagai bukti bahwa Ali tetap tidak menyetujui keputusan Abu Bakar mengenai harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut.
فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا

Maka Abu Bakar masuk, Ali mengucapkan syahadat dan berkata “kami mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu, kami tidak dengki terhadap kebaikan yang diberikan Allah kepadamu tetapi kamu telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami, kami berpandangan bahwa kami berhak memperoleh bagian karena kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 4240 & 4241]

Mengenai hadits tersebut, lengkapnya seperti berikut ini :

Abu Bakr lantas menemui mereka. ‘Aliy mengucapkan syahadat dan berkata : ‘Kami tahu keutamaanmu dan apa yang telah Allah kurniakan kepadamu. Kami tidak mendengki kebaikan yang telah Allah berikan padamu, namun engkau telah sewenang-wenang dalam memperlakukan kami. Kami berpendapat/berpandangan, selayaknya kami peroleh bagian karena kedekatan kekerabatan kami dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Hingga kemudian kedua mata Abu Bakr menangis (karena mendengarnya). Ketika Abu Bakr bicara, Abu Bakr berkata : ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kekerabatan Rasulullah lebih aku cintai daripada aku menyambung kekerabatanku sendiri. Adapun percekcokan antara aku dan kalian dari harta ini, sebenarnya aku selalu berusaha berbuat kebaikan. Tidaklah kutinggalkan sebuah perkara yang kulihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, melainkan aku melakukannya juga’. Kemudian ‘Aliy berkata kepada Abu Bakr : ‘Waktu baiat kepadamu adalah nanti sore’. Ketika Abu Bakr telah shalat Dhuhur, ia naik mimbar. Ia ucapkan syahadat, lalu ia menjelaskan permasalahan ‘Aliy dan ketidakikutsertaannya dari bai’at serta alasannya. ‘Aliy kemudian beristighfar dan mengucapkan syahadat, lalu mengemukakan keagungan hak Abu Bakar, dan ia ceritakan bahwa apa yang ia lakukan tidak sampai menyeretnya untuk dengki kepada Abu Bakar. Tidak pula sampai mengingkari keutamaan yang telah Allah berikan kepada Abu Bakr. (‘Aliy berkata) : ‘Hanya saja, kami berpendapat/berpandangan bahwa kami sebenarnya layak untuk menyatakan pendapat dalam masalah ini (warisan), namun Abu Bakr telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami sehingga kami pun merasa jengkel/marah terhadapnya’. Kaum muslimin pun bergembira atas pernyataan ‘Aliy dan berujar : ‘Engkau benar’. Sehingga kaum muslimin semakin dekat dengan ‘Aliy ketika ‘Aliy mengembalikan keadaan menjadi baik” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4240-4241].

Dari riwayat di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya saat itu Ali sedang menjelaskan duduk perkara awal mengapa terjadi hubungan yang kurang enak diantara dia dan keluarganya dengan Abu Bakar dan pada kenyataannya akhirnya Ali menerima keputusan Abu Bakar mengenai harta tersebut dengan bukti bai’at beliau kepada Abu Bakar. Jadi hadits di atas justru menunjukkan penerimaan Ali atas keputusan Abu Bakar pada akhirnya.

Sebelum melanjutkan ke pembahasan selanjutnya, mari kita pahami terlebih dahulu pandangan Abu Bakar dan Umar mengenai harta peninggalan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut. Mari cermati hadits-hadits berikut ini:

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyalaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “”Warisanku tidaklah dibagi-bagi baik berupa dinar maupun dirham. Apa yang aku tinggalkan selain berupa nafkah buat istri-istriku dan para pekerjaku, semuanya adalah sebagai shadaqah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2776. Lihat juga no. 3096 dan 6729]

‘Umar kemudian melanjutkan : “Untuk itu aku akan menyampaikan kepada kalian tentang masalah ini. Sesungguhnya Allah telah mengkhususkan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah fa’i ini sebagai sesuatu yang tidak Dia berikan kepada siapapun selain beliau”. – Lalu ‘Umar membaca firman Allah : ‘Dan apa saja yang dikaruniakan Allah berupa fa’i (rampasan perang) kepada Rasul-Nya dari (harta benda) mereka… – hingga firmanNya – dan Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu‘ (QS. Al-Hasyr : 6) – . “Ayat ini merupakan pengkhususan untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, tidaklah beliau mengumpulkannya dengan tidak memperhatikan kalian dan juga tidak untuk lebih mementingkan diri kalian. Sungguh, beliau telah memberikannya kepada kalian dan menyebarkannya di tengah-tengah kalian (kaum Muslimin) hingga sekarang masih ada yang tersisa dari harta tersebut. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nafkah belanja kepada keluarga beliau sebagai nafkah tahunan mereka dari harta fa’i ini, lalu sisanya beliau ambil dan dijadikannya sebagai harta Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menerapkan semua ini samasa hidup beliau. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat. (Bukhari No. 4033-4034).

Umar berkata : “tunggu dan sabar”, “kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Shalalahu alaihi wasalam telah bersabda : “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” ? Mereka menjawab : “Ya”. Kemudian dia menghadap ke arah Ali dan Abbas dan berkata : “kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Shalalahu alaihi wasalam bersabda : “Kami (para Nabi) tidak meninggalkan warisan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” ? mereka (juga) menjawab : “Ya” (kemudian) Umar berkata : Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung telah memperlakukan Rasul-Nya dengan sebuah kebaikan yang khusus yang Dia tidak perlakukan kepada yang lain kecuali terhadap beliau. Ia mengutip ayat Al-Qur’an : “Apa-apa yang telah anugerahkan kepada Rasul-Nya dari (kekayaan) penduduk kota adalah untuk Allah dan Rasul-Nya… (Al-Hasyr : 7)”. Rawi berkata : “saya tidak tahu apakah dia juga mengutip ayat sebelumnya atau tidak”. Umar melanjutkan : Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam telah membagikan diantara kalian harta rampasan dari Bani Nadhir. Demi Allah, beliau tidak pernah menghendaki dirinya melebihi kalian dan tidak pernah mengambil alih apapun terhadap pengeluaran kalian. (sesudah pembagian yang adil dengan cara ini) harta ini masih tersisa.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam akan memenuhi dari harta ini untuk nafkah tahunan beliau, dan sisanya akan disimpan di Baitul Mal. (lebih lanjut) Ia mengatakan : kuingatkan kalian kepada Allah, dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi, Tahukah kalian tentang ini? Mereka menjawab “Ya”. Kemudian dia meminta Abbas dan Ali sebagaimana ia telah minta kepada yang lain dan bertanya : “Tahukah kalian berdua mengenai hal ini”? mereka menjawab “Ya”. (Muslim No. 1757)

Dari hadits riwayat Abu Hurairah dan penjelasan Umar pada riwayat di atas, sangat jelas bagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam menggunakan harta milik beliau tersebut di masa kehidupan beliau, harta fa’i yang beliau miliki, beliau gunakan untuk mencukupi nafkah keluarga beliau dalam setiap tahun dan sisanya beliau jadikan sedekah. Maka setelah beliau wafat, Abu Bakar diangkat sebagai khalifah beliau, dan Abu Bakar berpendapat untuk meneruskan apa yang Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam lakukan terhadap harta tersebut di saat beliau masih hidup tanpa merubahnya sedikitpun. Ketika Fathimah, Ali dan Abbas meminta bagian dari harta tersebut, Abu Bakar menolaknya karena beliau mengetahui sebuah hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tidak meninggalkan warisan dan apa yang ditinggalkan adalah untuk sedekah, hal ini lah yang membuat Abu Bakar merasa bertanggung jawab untuk menjalankan apa yang Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam lakukan terhadap harta tersebut karena dia telah dipilih sebagai khalifah dan dia menerapkan hal tersebut sendiri dan tidak menyerahkannya ke tangan yang lain (termasuk keluarga Nabi) demi menjaga amanat tersebut. Sikap Abu Bakar ini tergambar dengan jelas pada perkataan beliau kepada Ali :

Abu Bakr berkata : ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kekerabatan Rasulullah lebih aku cintai daripada aku menyambung kekerabatanku sendiri. Adapun percekcokan antara aku dan kalian dari harta ini, sebenarnya aku selalu berusaha berbuat kebaikan. Tidaklah kutinggalkan sebuah perkara yang kulihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, melainkan aku melakukannya juga’. Kemudian ‘Aliy berkata kepada Abu Bakr : ‘Waktu baiat kepadamu adalah nanti sore’. (Bukhari no. 4240-4241)

Demikian juga dengan Umar, beliau berpandangan sama dengan Abu Bakar, hanya saja di masa pemerintahan-nya, Umar melakukan sendiri apa yang dilakukan Abu Bakar terhadap harta Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam selama 2 tahun saja, kemudian beliau serahkan pengelolaan sebagian harta (harta fa’i Bani Nadhir) kepada Ali dan Abbas, karena mereka berdua datang kepada Umar dan meminta Umar untuk mempercayakan harta tersebut kepada mereka. dan Umar setuju untuk menyerahkan pengelolaan harta tersebut dengan menarik perjanjian dari mereka untuk mengelola harta tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar dan dirinya sendiri.

Disini saya berpandangan berbeda dengan orang Syi’ah tersebut, kedatangan Ali dan Abbas kepada Umar bukanlah meminta harta tersebut untuk menjadi milik mereka, tetapi mereka meminta Umar untuk mempercayakan harta tersebut kepada mereka karena kedekatan kekerabatan mereka dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Si penulis syi’ah tersebut berdalilkan riwayat berikut ini :
فَقُلْتُ أَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ فَقَبَضْتُهَا سَنَتَيْنِ أَعْمَلُ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جِئْتُمَانِي وَكَلِمَتُكُمَا عَلَى كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ وَأَمْرُكُمَا جَمِيعٌ جِئْتَنِي تَسْأَلُنِي نَصِيبَكَ مِنْ ابْنِ أَخِيكِ وَأَتَانِي هَذَا يَسْأَلُنِي نَصِيبَ امْرَأَتِهِ مِنْ أَبِيهَا

Aku [Umar] berkata “aku adalah Wali Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar, aku pegang harta itu selama dua tahun dan aku perbuat sebagaimana yang diperbuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar kemudian kalian berdua mendatangiku dan ucapan kalian berdua sama dan perkara kalian pun sama, engkau [Abbas] mendatangiku untuk meminta bagianmu dari putra saudaramu dan dia ini [Ali] mendatangiku untuk meminta bagian istrinya dari ayahnya [Shahih Bukhari no 7305]

Riwayat di atas sebenarnya dapat dipahami bahwa kedatangan Ali dan Abbas kepada Umar bukanlah meminta harta tersebut untuk dimiliki oleh mereka (harta warisan) karena pasti akan ditolak oleh Umar, tetapi mereka berdua meminta hak pengelolaan atas harta tersebut karena kedekatan kekerabatan mereka dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dimana di masa Abu Bakar mereka tidak bisa mendapatkannya karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam menjaga amanat tersebut. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa pemahaman ini lebih mendekati kebenaran? Buktinya adalah dalam riwayat selanjutnya Umar menyetujui untuk menyerahkan harta tersebut kepada Ali dan Abbas dengan syarat keduanya harus mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar dan Umar dalam mengelola harta tersebut. Jika harta tersebut diserahkan kepada mereka berdua dalam rangka untuk dimiliki oleh mereka (harta warisan), tentu Umar akan menolaknya.

Seandainyapun riwayat di atas dipahami bahwa mereka berdua memang meminta bagian warisan dari peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam di masa kepemimpinan Umar, maka dengan keputusan Umar yang bijaksana tersebut akhirnya Ali dan Abbas menerimanya, dan keputusan tersebut telah berjalan beberapa waktu sebelum mereka berdua (Ali dan Abbas) saling berselisih dan menghadap kembali kepada Umar untuk minta putusan, dengan mereka menerima keputusan Umar tersebut, maka artinya mereka pun menerima keputusan Abu Bakar dalam mengelola harta tersebut. Mari kita perhatikan kelanjutan riwayat di atas :

فَقُلْتُ أَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ فَقَبَضْتُهَا سَنَتَيْنِ أَعْمَلُ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ ثُمَّ جِئْتُمَانِي وَكَلِمَتُكُمَا عَلَى كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ وَأَمْرُكُمَا جَمِيعٌ جِئْتَنِي تَسْأَلُنِي نَصِيبَكَ مِنْ ابْنِ أَخِيكِ وَأَتَانِي هَذَا يَسْأَلُنِي نَصِيبَ امْرَأَتِهِ مِنْ أَبِيهَا فَقُلْتُ إِنْ شِئْتُمَا دَفَعْتُهَا إِلَيْكُمَا عَلَى أَنَّ عَلَيْكُمَا عَهْدَ اللَّهِ وَمِيثَاقَهُ لَتَعْمَلَانِ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِمَا عَمِلَ فِيهَا أَبُو بَكْرٍ وَبِمَا عَمِلْتُ فِيهَا مُنْذُ وَلِيتُهَا وَإِلَّا فَلَا تُكَلِّمَانِي فِيهَا فَقُلْتُمَا ادْفَعْهَا إِلَيْنَا بِذَلِكَ فَدَفَعْتُهَا إِلَيْكُمَا بِذَلِكَ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ هَلْ دَفَعْتُهَا إِلَيْهِمَا بِذَلِكَ قَالَ الرَّهْطُ نَعَمْ فَأَقْبَلَ عَلَى عَلِيٍّ وَعَبَّاسٍ فَقَالَ أَنْشُدُكُمَا بِاللَّهِ هَلْ دَفَعْتُهَا إِلَيْكُمَا بِذَلِكَ قَالَا نَعَمْ قَالَ أَفَتَلْتَمِسَانِ مِنِّي قَضَاءً غَيْرَ ذَلِكَ فَوَالَّذِي بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ لَا أَقْضِي فِيهَا قَضَاءً غَيْرَ ذَلِكَ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ فَإِنْ عَجَزْتُمَا عَنْهَا فَادْفَعَاهَا إِلَيَّ فَأَنَا أَكْفِيكُمَاهَا

Aku [Umar] berkata “aku adalah Wali Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar, aku pegang harta itu selama dua tahun dan aku perbuat sebagaimana yang diperbuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar kemudian kalian berdua mendatangiku dan ucapan kalian berdua sama dan perkara kalian pun sama, engkau [Abbas] mendatangiku untuk meminta bagianmu dari putra saudaramu dan dia ini [Ali] mendatangiku untuk meminta bagian istrinya dari ayahnya. Maka aku katakan, ‘Jikalah kalian menginginkan, harta itu aku serahkan kepada kalian berdua, hanya kalian harus menerima resiko tanggung jawab dari janji Allah dan ikrar-Nya, yaitu agar kalian berdua mengelolanya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengelola, dan juga sebagaimana Abu Bakar mengelola, dan juga sebagaimana aku mengolala semenjak aku mewenanginya. Kalaulah kamu berdua tidak bisa, tolong jangan kalian berdua mengajakku bicara tentang harta itu, kalian berdua berkata, ‘Serahkan harta itu kepada kami berdua dengan syarat tersebut’ lantas aku katakan, ‘kuserahkan kepadamu berdua’. Adapun sekarang, aku bersumpah kepada kalian dengan nama Allah, bukankah telah aku serahkan sekarang kepada keduanya? Kumpulan sahabat yang hadir menjawab, Benar, lantas Umar menghadap Ali dan Abbas seraya berkata, Aku bersumpah atas kalian berdua (dengan nama Allah), bukankah telah aku serahkan kepada kalian berdua masalah harta itu? Keduanya menjawab, Benar. Umar kemudian berkata, Apakah kalian berdua mencari-cari keputusan selain itu setelah memperolehnya dariku? Demi Dzat yang karena seijin-Nya bumi dan langit menjadi tegak, selama-lamanya aku tidak akan memutuskan keputusan selain itu hingga kiamat tiba. Maka jika kalian berdua tidak mampu, serahkan saja kepadaku karena sungguh aku akan mencukupkan kalian berdua dengannya (harta itu). [Shahih Bukhari no 7305]

Hadits yang senada juga diriwayatkan dalam shahih Bukhari No. 4033-4034. Setelah menyampaikan hadits yang panjang senada dengan yang di atas,

Perawi berkata : “Lalu aku sampaikan hadits ini kepada ‘Urwah bin Az Zubair. Ia berkata : ‘Malik bin Aus benar. Aku juga pernah mendengar ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berkata : ‘Para isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus ‘Utsmaan menemui Abu Bakr untuk meminta seperdelapan dari harta yang telah Allah karuniakan kepada Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku (‘Aaisyah) menolak mereka. Aku katakan kepada mereka : “Apakah kalian tidak takut kepada Allah ? Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan semuanya sebagai shadaqah’ – yang beliau maksud dengan (kami) adalah diri beliau sendiri -. Sesungguhnya keluarga Muhammad makan dari harta ini”. Maka para isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti pada apa yang telah disampaikan oleh Aisyah kepada mereka“. Urwah berkata : “Maka harta shadaqah ini ada di tangan Aliy, sementara Ali mencegah Abbas dari harta tersebut, dan dapat mengalahkannya. Kemudian beralih ditangan Hasan bin ‘Aliy, kemudian berpindah ke tangan Al-Husain bin ‘Aliy, kemudian berpindah ke tangan ‘Aliy bin Al-Husain, kemudian Al-Hasan bin Al-Hasan. Keduanya saling bergantian. Kemudian berpindah ke tangan Zaid bin Hasan. Dan sesungguhnya itu merupakan shadaqah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4033-4034].

Dengan demikian jelas bahwa ahlul bait dan keturunannya telah mengelola harta tersebut sesuai keputusan Abu Bakar dan Umar. Maka sungguh lemah pandangan orang syi’ah tersebut yang menganggap Imam Ali tetap menolak keputusan Abu Bakar. Satu pertanyaan yang sederhana tetapi cukup membuat orang-orang syi’ah menjadi pusing dan marah-marah karenanya, mengapa ketika Imam Ali telah menjabat khalifah beliau tidak merubah status harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut? Padahal beliau memegang kekuasaan saat itu, jawabnya, tidak lain dan tidak bukan adalah karena beliau menerima dan membenarkan keputusan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana diceritakan dalam riwayat di atas.

Dan yang lebih lucu lagi orang syi’ah ini mencoba mencari-cari dalih bahwa hadits yang didengar Abu Bakar tidaklah benar, karena terdapat beberapa peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang tidak dijadikan sedekah.
حدثنا شيبان بن فروخ حدثنا سليمان بن المغيرة حدثنا حميد عن أبي بردة قال دخلت على عائشة فأخرجت إلينا إزارا غليظا مما يصنع باليمن وكساء من التي يسمونها الملبدة قال فأقسمت بالله إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قبض في هذين الثوبين

Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farrukh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Mughiirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid dari Abi Burdah yang berkata “aku masuk menemui Aisyah dan ia mengeluarkan kepada kami kain kasar buatan Yaman dan baju yang terbuat dari bahan kasar [Abu Burdah] berkata kemudian ia [Aisyah] bersumpah dengan nama Allah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat dengan memakai kedua pakaian ini [Shahih Muslim 3/1649 no 2080]

Riwayat di atas menunjukkan bahwa A’isyah menyimpan kain dan baju kasar tersebut, apakah itu artinya A’isyah mewarisinya? Suatu pertanyaan yang aneh, sebagaimana ketika harta fa’i Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berada di tangan ahlul bait yang diserahkan oleh Umar, apakah kemudian harta tersebut menjadi warisan buat mereka? Aneh-aneh saja orang syi’ah ini dalam mencari-cari dalih.
أخبرنا محمد بن عبيد الطنافسي وعبيدة بن حميد وإسحاق بن يوسف الأزرق قالوا أخبرنا عبد الملك بن أبي سليمان عن عطاء بن أبي رباح عن عبد الله مولى أسماء قال أخرجت إلينا أسماء جبة من طيالسة لها لبنة شبر من ديباج كسرواني وفروجها مكفوفة به فقالت هذه جبة رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يلبسها فلما توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم كانت عند عائشة فلما توفيت عائشة رضى الله تعالى عنها قبضتها فنحن نغسلها للمريض منا إذا أشتكى

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid Ath Thanaafisiy dan Ubaidah bin Humaid dan Ishaq bin Yusuf Al Azraq mereka berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ bin Abi Rabah dari ‘Abdullah maula Asma’ yang berkata Asma’ mengeluarkan kepada kami jubah Thayalisah yang kerahnya terbuat dari sutera kasrawaniy [kekaisaran] dan sisi-sisinya dijahit dengannya [sutera]. Asma’ berkata “ini adalah Jubah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang dipakai oleh Beliau, ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka jubah itu ada pada Aisyah dan ketika Aisyah wafat maka aku mengambilnya, kami mencuci jubah itu untuk orang yang sakit dari kami jika sedang sakit [Thabaqat Ibnu Sa’ad 1/222]

Demikian juga dengan riwayat di atas ini, apalagi akhirnya jubah tersebut dimanfaatkan untuk dipakaikan kepada orang yang sedaag sakit diantara mereka. Satu hal yang musykil menurut saya pribadi dalam riwayat ini adalah bukankah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengharamkan mengenakan sutra untuk laki-laki? Suatu hal yang tidak mungkin beliau memakai pakaian yang mengandung sutra di saat beliau masih hidup. Maka cukuplah ini sebagai petunjuk kelemahan hadits di atas. Allahu A’lam.

Hadits-hadits tentang Larangan bagi laki-laki memakai kain Sutera diantaranya:

Dari Umar bin al-Khaththab r.a., katanya: “Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:

لَا تَلْبَسثُوا الْحَرِيْرَ فَإِنَّ مِنْ لَبِسَهُ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبِسَهُ فِي الْآخِرَةِ

“Janganlah engkau semua mengenakan pakaian sutera, kerana sesungguhnya orang mengenakannya di dunia ini, maka ia tidak akan mengenakannya di akhirat.”

(HR. Bukhari 10/243, Muslim No. 2069)

Dari Umar bin al-Khaththab r.a. pula, katanya: “Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا يَلْبِسُ الْحَرِيْرَ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ

“Hanyasanya yang mengenakan pakaian sutera ialah orang yang tidak mempunyai bahagian untuknya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan: “Orang yang tidak mempunyai bahagian untuknya – dalam hal kenikmatan – di akhirat.”

Dari Anas r.a., katanya: Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ لَبِسَ الْحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبِسَهُ فِي الْآخِرَةِ

“Barangsiapa yang mengenakan pakaian sutera di dunia, maka ia tidak akan mengenakannya di akhirat nanti.” (HR. Bukhari 10/242, Muslim No. 2073)

Dari Ali r.a., katanya:

“Saya melihat Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam mengambil sutera lalu meletakkannya di tangan kanannya, juga mengambil emas lalu meletakkannya di tangan kirinya, kemudian beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dua macam benda ini diharamkan atas kaum lelaki dari ummatku.” (HR. Abu Dawud No. 4057, hasan)

Jadi hadits tersebut bisa dikatakan ada kelemahan pada matan-nya karena bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih. Sebenarnya untuk menjawab syubhat ini ada satu pertanyaan yang bisa kita lontarkan, jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam wafat dengan meninggalkan rumah yang sedang ditempati istri-istri dan keluarga beliau yang masih hidup apakah kemudian rumah-rumah tersebut harus disedekahkan sementara rumah-rumah tersebut masih dimanfaatkan oleh keluarga beliau? pakailah akalmu wahai kawan. kesimpulannya harta yang disedekahkan adalah harta Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sesudah dikurangi harta yang menjadi nafkah bagi keluarga beliau yang ditinggalkan, nafkah kalau dalam bahasa kita adalah sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (rumah).

Kita katakan kepada orang syi’ah itu “matilah dengan kemarahanmu”.

No comments:

Post a Comment