Saturday, August 6, 2011

Ahlul Bait dalam Surat Al-Ahzab : 33

Ahlul Bait dalam Surat Al-Ahzab : 33

January 24, 2010 by alfanarku

Pada kesempatan ini, kita akan coba mengungkap kelemahan klaim Syi’ah mengenai ahlul bait dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab : 33. Dimana mereka mengklaim bahwa ahlul bait yang tertera dalam ayat tersebut adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum saja, sedangkan istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut. Kita akan mencoba membahasnya dan berikutnya akan kita jawab syubhat-syubhat yang dilontarkan Syi’ah.

Sebenarnya sudah banyak pembahasan dalam masalah ini dalam membuktikan kelemahan klaim mereka tersebut, tetapi tampaknya kaum Syi’ah ini sudah terlanjur terjebak doktrin para ayatollah mereka, sehingga akal jernih sudah tidak dipakai lagi oleh mereka. Mari kita buka kembali surat Al-Ahzab dari ayat 28 sampai dengan ayat 34 yang sangat jelas sekali sedang berbicara mengenai istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahkan ayat-ayat setelahnya sampai dengan ayat 59 (ayat hijab) pun masih memabahas mengenai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta ahlul bait (rumah tangga) beliau :

28. Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.

29. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.

30. Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.

31. Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.

32. Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,

33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait (penghuni rumah) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

34. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.

Perhatikanlah wahai para pembaca sekalian, jangankan orang yang berilmu, orang yang awwam pun dengan mudah bisa menarik kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas berkenaan dengan istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada bayangan keraguan sedikitpun. Pada ayat-ayat di atas Allah memberi peringatan, kabar gembira, perintah dan larangan kepada istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tujuan akhirnya adalah dengan mereka mengikuti perintah dan larangan-Nya tersebut, Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa ahlul bait Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu istri-istri beliau) dan membersihkan mereka sebersih-bersihnya. Ini adalah alur yang begitu jelas dari apa yang difirmankan Allah dalam ayat-ayat di atas.

Perhatikan bagian ayat yang saya garisbawahi di atas yang menunjukkan hubungan diantara ayat-ayat tersebut, bahwa ayat-ayat sebelumnya termasuk ayat Thathhir (pembersihan) adalah turun di rumah istri-istri Nabi, sehingga terlihat dengan jelas mereka adalah penghuni rumah (ahlul bait) Nabi yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut. Dan Allah dalam ayat 34 mengingatkannya kembali kepada mereka, sehingga kesimpulannya adalah tidak ada pemisahan atau pemenggalan dalam ayat-ayat yang berurutan tersebut.

(-) Lantas bagaimana dengan kalimat yuthahhirakum dan ‘ankum pada ayat di atas yang menunjukkan jama’ mudzakkar (laki-laki) ?

(+) Maka dijawab : Sesungguhnya perkara yang disebutkan di awal ayat tertuju kepada para wanita secara khusus. Kemudian datang miim jama’ karena masuknya laki-laki bersama para wanita tersebut, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai sayyidul-bait. Apabila laki-laki masuk pada kumpulan wanita, maka nun niswah berubah (kalah) menjadi miim jama’ (mudzakkar). Hal ini adalah sesuatu hal yang ma’lum (diketahui) dalam ilmu nahwu.

إذا اجتمع المذكر مع المؤنث غلب المذكر

“Apabila mudzakkar (laki-laki) dan muannats (wanita) berkumpul (dalam satu kalimat), maka dimenangkan mudzakkar”.

Istri-istri Nabi-lah yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut sesuai dengan konteks dan urutan ayat tanpa ada keraguan sedikitpun padanya.



Definisi Ahlul Bait :

Mari kita ingatkan kembali definisi dari ahlul bait:

Ahl : Keluarga yang termasuk di dalamnya adalah istri, anak-anak, saudara laki-laki, saudara perempuan, kerabat yang lain, kadang-kadang digunakan untuk merujuk sesama anggota kabilah.

Bait : Rumah, tempat tinggal

Ahlul Bait : orang-orang yang terkait dengan seorang lelaki, yang mereka tinggal di rumahnya, khususnya adalah istri-istrinya dan anak-anak yang belum menikah yang mereka tinggal dalam satu atap dengan-nya yang disediakan olehnya.

Kenyataannya, definisi utama dari ahlul bait adalah istri-istri dari seorang lelaki; dalam budaya Arab, dianggap hal yang tidak sopan memanggil istri-istri seorang lelaki dengan nama mereka yang sebenarnya, oleh sebab itu, orang akan menyebut istri seorang lelaki dengan hanya menyebut “ahlul bait-nya”



Penggunaan umum istilah “Ahlul Bait”

Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab yang diturunkan kepada orang-orang yang berbahasa Arab. Kita akan salah menafsirkan Al-Qur’an jika kita berusaha untuk memahami kata-kata dengan cara yang tidak (dan tidak dapat) dipahami oleh orang yang dituju kitab ini yaitu bangsa Arab. Hari ini, jika kita meminta teman Arab kita untuk datang ke rumah kita bersama Ahlul Bait-nya, standarnya adalah bahwa ia akan datang ke rumah kita bersama istri dan anak-anak yang tinggal di rumahnya. Ia mungkin membawa anak-anak yang belum menikah atau mungkin tidak. Ia bahkan mungkin membawa teman, jika teman-nya tersebut adalah penghuni permanen rumahnya. Tapi yang utama, seorang Arab akan memahami bahwa ia harus membawa istri-istrinya, karena ini adalah inti dan definisi utama dari istilah Ahlul Bait.

Seorang lelaki Arab akan terkejut jika mengetahui bahwa kita mengartikan ahlul bait itu adalah saudara sepupunya, atau anak-anaknya yang sudah menikah, atau cucu-cucunya, yang mereka semua tinggal di rumah yang lain. Ia akan lebih sangat terkejut lagi mengetahui kita menganggap istri-istrinya yang tinggal di rumahnya adalah bukan ahlul bait-nya. Hal ini karena bagi orang Arab, kata ahlul bait (yang secara harfiah berarti mereka yang tinggal di rumah) termasuk adalah istri (istri-istri) dari seseorang. Hal ini sama sekali tidak berbeda pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini pun sama di semua negara-negara Arab. Hal yang sangat menarik, bahkan di Iran (sebagai negara yang didominasi oleh Syi’ah) orang menggunakan kata ahlul bait untuk merujuk kepada istri serta anak-anak dari seseorang. Jika kita melihat kitab-kitab popular dalam bahasa Arab, kita akan menemukan dalam definisi ahlul bait, istri diikutsertakan.



Logis dan masuk akal

Ahlul bait bermakna keluarga dari seorang lelaki yang tinggal di rumah-nya. Jika kita bertanya kepada seorang Syi’ah, siapa saja bagian dari keluarganya, ia pasti akan memasukkan ibunya atau pasangannya dalam jawabannya. Ibu dan istri adalah pondasi dasar dari sebuah keluarga. Jika kita bertanya kepada pihak ketiga yang tidak bias, siapakah keluarga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, nama-nama yang mereka akan sebutkan pertama kali adalah istri-istri beliau.



Al-Qur’an menyebut istri-istri Nabi sebagai ahlul bait.

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS 33:32-33)

Pada kenyataannya tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang mengidentifikasi Ali (رضى الله عنه), Fatima (رضى الله عنها), Hasan (رضى الله عنه), atau Hussain (رضى الله عنه) sebagai Ahlul Bait. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang telah sempurna menyebutkan 12 Imam dari Syiah, apalagi menyebut mereka Ahlul Bait. Istilah “Ahlul Bait” telah digunakan dua kali dalam Al-Quran, dan dua kali digunakan untuk merujuk kepada istri-istri. Dan istilah yang serupa, Ahlul Bait digunakan dalam Al-Qur’an untuk merujuk kepada istri Imran (Ibu Musa ‘alaihis salam). Namun, tidak sekalipun kata ahlul bait yang digunakan dalam Al-Qur’an merujuk kepada Ali (رضى الله عنه), Fatima (رضى الله عنها), Hasan (رضى الله عنه), atau Hussain (رضى الله عنه). Dan tidak pernah ada ayat dalam Al-Qur’an yang mengatakan “Hai saudara sepupu Nabi” melainkan yang ada “Hai istri-istri Nabi”. Jika mengikuti ahlul bait adalah dasar kepercayaan sebagaimana Syi’ah klaim, lalu mengapa Al-Qur’an tidak pernah sekalipun menyebutkan Ali sebagai ahlul bait? Jika kita meminta saudara Syi’ah untuk menampilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan ahlul bait, mereka akan kecewa karena menemukan ayat-ayat tersebut semuanya berhubungan dengan istri-istri Nabi.

72. Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”

73. Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

(QS Huud : 72-73)

Pada ayat di atas, istri Nabi Ibrahim ‘alaihi salam bertanya kepada malaikat bagaimana dia bisa mempunyai seorang anak, dan malaikat menjawabnya dan dengan memanggilnya beserta Nabi Ibrahim sebagai ahlul bait. Kata ganti kolektif digunakan untuk merujuk kepada Nabi Ibrahim dan istrinya, tidak ada orang lain di ruangan itu melainkan hanya mereka berdua.



Dalam hadits shahih Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memanggil istri-istri beliau dengan sebutan Ahlul Bait

4793 – حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بُنِيَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ بِخُبْزٍ وَلَحْمٍ فَأُرْسِلْتُ عَلَى الطَّعَامِ دَاعِيًا فَيَجِيءُ قَوْمٌ فَيَأْكُلُونَ وَيَخْرُجُونَ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ فَيَأْكُلُونَ وَيَخْرُجُونَ فَدَعَوْتُ حَتَّى مَا أَجِدُ أَحَدًا أَدْعُو فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ مَا أَجِدُ أَحَدًا أَدْعُوهُ قَالَ ارْفَعُوا طَعَامَكُمْ وَبَقِيَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ يَتَحَدَّثُونَ فِي الْبَيْتِ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَقَالَتْ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ كَيْفَ وَجَدْتَ أَهْلَكَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فَتَقَرَّى حُجَرَ نِسَائِهِ كُلِّهِنَّ يَقُولُ لَهُنَّ كَمَا يَقُولُ لِعَائِشَةَ وَيَقُلْنَ لَهُ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ رَجَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا ثَلَاثَةٌ مِنْ رَهْطٍ فِي الْبَيْتِ يَتَحَدَّثُونَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَدِيدَ الْحَيَاءِ فَخَرَجَ مُنْطَلِقًا نَحْوَ حُجْرَةِ عَائِشَةَ فَمَا أَدْرِي آخْبَرْتُهُ أَوْ أُخْبِرَ أَنَّ الْقَوْمَ خَرَجُوا فَرَجَعَ حَتَّى إِذَا وَضَعَ رِجْلَهُ فِي أُسْكُفَّةِ الْبَابِ دَاخِلَةً وَأُخْرَى خَارِجَةً أَرْخَى السِّتْرَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ وَأُنْزِلَتْ آيَةُ الْحِجَابِ

(6/119)

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Sebuah perjamuan roti dan daging diadakan pada kesempatan pernikahan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsy. aku dikirim untuk mengundang orang-orang (ke perjamuan), dan sehingga orang-orang mulai datang (dalam kelompok); Mereka makan dan kemudian pergi. Sekelompok yang lain datang, makan dan pergi. Jadi aku terus mengundang orang-orang sampai aku tak menemukan seorang pun untuk diundang. Lalu aku berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak menemukan orang lagi untuk diundang.” beliau berkata, “Bawa pergi makanan yang tersisa.” tiga orang masih tinggal di rumah sedang bercakap-cakap. Nabi pergi dan menuju tempat kediaman Aisyah dan berkata, “Assalamu’alaikum ahlul bait wa rahmatullah” (salam sejahtera atas kamu, wahai ahlul bait dan semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepadamu), ia menjawab, “Wa alaika salam wa rahmatullah” (dan semoga kesejahteraan dan rahmat Allah atasmu). “Bagaimana Anda menemukan istri baru Anda? Semoga Allah memberkati Anda”. Lalu beliau pergi ke tempat-tempat kediaman semua istri-istri beliau yang lain dan berkata kepada mereka sama seperti apa yang beliau katakan kepada Aisyah dan mereka pun menjawab beliau sama seperti Aisyah telah menjawab beliau. Kemudian Nabi kembali dan menemukan tiga orang masih tinggal di rumah sedang ngobrol. Nabi adalah orang yang sangat pemalu, jadi dia keluar (untuk kedua kalinya) dan pergi menuju tempat kediaman Aisyah. Aku tidak ingat apakah aku memberitahukan bahwa orang-orang itu sudah pergi. Maka beliau kembali dan begitu beliau memasuki pintu, beliau menarik tirai antara aku dan beliau, dan kemudian Ayat Al-Hijab turun”. (Shahih Bukhari 6/119 No. 4793)

Pertama, Tidak ada keraguan sedikitpun hadits di atas menunjukkan bahwa istri-istri Nabi adalah ahlul bait beliau.

Kedua, hadits di atas adalah asbabun nuzul ayat hijab (surat Al-Ahzab : 53-55) mengenai aturan memasuki rumah-rumah Nabi dan perintah hijab, sedangkan ayat tersebut termasuk dalam rangkaian ayat-ayat Al-Ahzab yang berbicara tentang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri beliau, urusan rumah tangga beliau dan kaum mukminin, yang dimulai dari ayat 28 sampai dengan ayat 59. Hal ini semakin menguatkan bahwa ahlul bait yang disebutkan dalam surat al-Ahzab : 33 adalah entitas yang sama, yaitu istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat juga tafsir Ibnu Katsir untuk Al-Ahzab : 53-55.

Selain itu, dalil yang dibawakan ulama yang merajihkan pendapat ini adalah hadits yang menyebutkan bacaan shalawat dalam tasyahud :

اللهم! صل على محمد وعلى أزواجه وذريته. كما صليت على آل إبراهيم. وبارك على محمد وعلى أزواجه وذريته. كما باركت على آل إبراهيم. إنك حميد مجيد

“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad, dan kepada istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Al-Bukhari no. 3369 dan Muslim no. 407].

Lafadh “wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyaatihi” (dan kepada istri-istrinya serta keturunannya) merupakan penafsir dari lafadh “wa ‘alaa aali Muhammad” (dan kepada keluarga Muhammad) sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang dibawakan oleh Al-Bukhari :

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد

“Ya Allah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kebahagiaan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan berikanlah barakah kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan barakah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” [HR. Al-Bukhari no. 3370].



Satu Pertanyaan untuk Syi’ah

Kita meminta saudara –saudara Syi’ah pikirkan, mengapa Al-Qur’an dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan istilah “Ahlul Bait” sebagai lawan dari sekedar kata “Ahl” yang berarti “keluarga”. Dengan pembatasan kata “Ahl” dengan “Al-Bait” ini sebagai pembatasan bahwa yang dimaksud adalah keluarga yang berada di bawah atap rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bukan Ali, Fathimah, Hasan maupun Husain yang tidak tinggal serumah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Di sisi lain, istri-istri Nabi lah yang jelas serumah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika Allah merujuk kepada keluarga Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak tinggal di rumah beliau, maka tentu kata “Ahl” akan lebih cocok untuk digunakan; spesifikasi tambahan “Al-Bait” akan benar-benar asing dan bahkan kontradiksi dengan sendirinya. Istilah “Ahlul Bait” membatasi para Ahl hanya untuk mereka yang tinggal di dalam Bait, dimana mereka adalah terdiri dari istri-istri Nabi. Penjelasan selain ini adalah tidak masuk akal.



Perluasan Makna Ahlul Bait dalam surat Al-Ahzab : 33 atas dasar do’a Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

Demikianlah, begitu jelas bahwa yang dimaksud ahlul bait dalam Al-Ahzab : 33 adalah Nabi dan istri-istri beliau, hingga kemudian terdapat perluasan makna ahlul bait pada ayat tersebut atas dasar do’a beliau kepada Allah Azza wa Jalla untuk memasukkan keluarga beliau atas dasar ikatan nasab (Fathimah, Hasan, Husain dan menantu beliau Ali ra) agar juga dihilangkan dosa mereka dan dibersihkan sebersih-bersihnya oleh Allah Azza wa Jalla, hal tersebut beliau lakukan karena rasa cinta beliau yang dalam kepada mereka. Hal ini terekam dalam sebuah hadits yang terkenal dengan sebutan hadits kisa’.

Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 dalam Shahih Sunan Tirmidzi Syaikh Al Albani

عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير

Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata “ Ya Allah Mereka adalah Ahlul Baitku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.

Di atas tidak diragukan adalah keutamaan keluarga Fathimah radhiyallahu ‘anha, dimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam begitu mencintai mereka sehingga beliau berkeinginan agar mereka termasuk ahlul bait yang dibersihkan oleh Allah sebagaimana istri-istri Nabi. Beliau memanggil mereka dan menyelimuti mereka dengan kain adalah merupakan suatu bentuk ekspresi beliau, untuk menunjukkan bahwa mereka juga bagian dari ahlul bait beliau dan beliau pun mendo’akan mereka. Hal ini beliau lakukan karena Fathimah sudah menjadi istri Ali ra, sehingga Fathimah dan anak-anaknya tinggal bersama Ali dan menjadi ahlul bait Ali radhiyallahu ‘anhu dan dalam kesehariannya tidak lagi tinggal serumah berkumpul dengan beliau, sedangkan ayat 33:33 di atas turun untuk ahlul bait Nabi yang terikat dalam pernikahan yaitu istri-istri beliau, yang tinggal serumah dengan beliau dan ayat tersebut turun di rumah mereka. Maka tidak mengherankan jika beliau memanggil keluarga Fathimah untuk datang ke rumah salah satu istri beliau, menyelimuti dan mendo’akan mereka dengan harapan mereka juga dimasukkan oleh Allah sebagai ahlul bait beliau yang dibersihkan. Sedangkan istri-istri beliau sudah pada kedudukan mereka sendiri yaitu dalam kebaikan sebagai ahlul bait yang telah disebutkan dalam ayat tersebut, sehingga tidak perlu dido’akan lagi.

Perhatikan kalimat yang saya garisbawahi pada hadits di atas, bahwa ayat Thathhir turun di rumah Ummu Salamah (istri Nabi), maka yang berhak disebut Ahlul Bait dalam ayat tersebut adalah istri-istri Nabi yang tinggal serumah bersama Nabi, bukan keluarga beliau yang tinggal tidak serumah dengan beliau, itulah salah satu sebabnya keluarga Fathimah dipanggil untuk datang ke rumah Ummu Salamah..



Bantahan terhadap Beberapa Syubhat Syi’ah

Diantara mereka (kaum Syi’ah) mengatakan, bahwa ayat Thathhir dalam Al-Ahzab : 33 adalah hanya untuk Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhum saja dan istri-istri Nabi tidak termasuk di dalamnya.

Pernyataan di atas adalah lemah, berdasarkan penjelasan di atas, bahwa ayat Thathhir adalah milik Nabi dan istri-istri beliau tidak diragukan lagi, maka bagaimana bisa mereka mengeluarkan istri-istri Nabi dari makna ahlul bait dalam ayat tersebut, padahal mereka adalah shahibul ayat. Ayat tersebut dimulai dengan judul “Hai istri-istri Nabi” sedangkan tidak ada satu pun ayat yang menyebutkan “Hai keluarga Ali”.

Diantara mereka ada yang mengatakan, bahwa hadits kisa’ telah membatasi makna ahlul bait dalam ayat tersebut, dan ahlul bait itu adalah ahlul kisa’ saja, sedangkan istri-istri Nabi tidak termasuk.

Kita Jawab, mana buktinya bahwa hadits kisa’ membatasi makna dari ahlul bait dalam QS 33:33? Sebagaimana apa yg disampaikan Al-Akh Abul-Jauzaa :

di dalam lafadh hadits kisa’ itu tidak terdapat hal yang menuntut pembatasan kriteria ini pada orang-orang yang berada di dalam kisa’ itu. Sebab di dalam sabda beliau : ‘Mereka adalah ahlul-bait-ku’ ; tidak terdapat shighah qashr (pembatasan). Ia seperti firman-Nya tentang Ibrahim ‘alaihis-salaam, bahwa ia berkata : ‘Sesungguhnya mereka adalah tamuku’ (QS. Al-Hijr : 68). Maknanya bukan : ‘Aku tidak memiliki tamu selain mereka’. Dan ia berkonsekuensi pada terpenggalnya ayat tersebut dari apa yang sebelum dan setelahnya” [At-Tahriir wat-Tanwiir, 21/247-248]

Jika mereka mudah mengatakan seperti itu, kita pun dengan sangat mudah bisa mengatakan bahwa hadits kisa’ adalah perluasan makna ahlul bait, bukan pembatasan.

Mereka biasanya tidak mau menyerah, dan kemudian mulai mempersoalkan teks hadits kisa’, mereka akan mengatakan “dalam hadits itu jelas yang diselimuti hanya Ali, Fathimah, Hasan dan Husain saja, sedangkan Ummu Salamah (istri Nabi) ditolak oleh Nabi”

Kita jawab, jelas ditolak oleh Nabi dengan alasan yang beliau telah sampaikan sendiri, “tetaplah pada kedudukanmu, kamu dalam kebaikan” yang artinya Ummu Salamah tidak memerlukan lagi do’a dari Nabi karena memang ayat Thathhir turun untuk istri-istri Nabi, jadi kedudukan Ummu Salamah sudah dalam kebaikan. Justru dengan Nabi mendo’akan ahlul kisa’, hal itu menunjukkan bahwa ayat Thathhir pada awalnya memang bukan untuk mereka, kalau memang ayat tersebut untuk mereka, tentu ga perlu lagi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berusaha sedemikian rupa menyelimuti mereka dan berdo’a untuk mereka. Berdasarkan riwayat Tirmidzi di atas, dikisahkan bahwa ayat thathhir turun terlebih dahulu, kemudian baru Nabi memanggil keluarga Ali, menyelimuti, dan mendo’akan mereka. Hal yang menjadi pertanyaan, jika ayat tersebut turun jelas untuk mereka (ahlul kisa’), mengapa Nabi kemudian masih memerlukan untuk mendo’akan mereka lagi agar Allah membersihkan mereka? Sekali lagi ini adalah bukti bahwa memang ayat tahthhir adalah bukan untuk mereka pada awalnya, tetapi untuk istri-istri Nabi, dan begitu ayat tersebut turun, Nabi langsung memanggil keluarga Ali untuk datang ke rumah Ummu Salamah, menyelimuti mereka dan mendo’akan mereka, agar mereka juga termasuk menjadi ahlul bait yang dibersihkan oleh Allah.

Di dalam hadits riwayat Ahmad yang dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir, justru Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengiyakan bahwa Ummu Salamah adalah termasuk ahlu beliau dan beliau pun menyelimuti Ummu Salamah setelah do’a beliau untuk keluarga Fathimah selesai,

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا أبو النضر هاشم بن القاسم ثنا عبد الحميد يعنى بن بهرام قال حدثني شهر بن حوشب قال سمعت أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه و سلم حين جاء نعى الحسين بن على لعنت أهل العراق فقالت قتلوه قتلهم الله غروه وذلوه لعنهم الله فإني رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم جاءته فاطمة غدية ببرمة قد صنعت له فيها عصيدة تحمله في طبق لها حتى وضعتها بين يديه فقال لها أين بن عمك قالت هو في البيت قال فاذهبي فادعيه وائتني بابنيه قالت فجاءت تقود ابنيها كل واحد منهما بيد وعلى يمشى في أثرهما حتى دخلوا على رسول الله صلى الله عليه و سلم فأجلسهما في حجره وجلس على عن يمينه وجلست فاطمة عن يساره قالت أم سلمة فاجتبذ من تحتى كساء خيبر يا كان بساطا لنا على المنامة في المدينة فلفه النبي صلى الله عليه و سلم عليهم جميعا فأخذ بشماله طرفي الكساء وألوى بيده اليمنى إلى ربه عز و جل قال اللهم أهلي اذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا اللهم أهل بيتي اذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا اللهم أهل بيتي اذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قلت يا رسول الله ألست من أهلك قال بلى فادخلي في الكساء قالت فدخلت في الكساء بعد ما قضى دعاءه لابن عمه على وابنيه وابنته فاطمة رضي الله عنهم

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nadhr Hasym bin Al Qasim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid yaitu Ibnu Bahram yang berkata telah menceritakan kepadaku Syahr bin Hausab yang berkata aku mendengar Ummu Salamah istri Nabi SAW ketika datang berita kematian Husain bin Ali telah mengutuk penduduk Irak. Ummu Salamah berkata “Mereka telah membunuhnya semoga Allah membinasakan mereka. Mereka menipu dan menghinakannya, semoga Allah melaknat mereka. Karena sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW didatangi oleh Fatimah pada suatu pagi dengan membawa bubur yang ia bawa di sebuah talam. Lalu ia menghidangkannya di hadapan Nabi. Kemudian Beliau berkata kepadanya “Dimanakah anak pamanmu(Ali)?”. Fatimah menjawab “Ia ada di rumah”. Nabi berkata “Pergi dan panggillah Ia dan bawa kedua putranya”. Maka Fatimah datang sambil menuntun kedua putranya dan Ali berjalan di belakang mereka. Lalu masuklah mereka ke ruang Rasulullah dan Beliau pun mendudukkan keduanya Al Hasan dan Al Husain di pangkuan Beliau. Sedagkan Ali duduk disamping kanan Beliau dan Fatimah di samping kiri. Kemudian Nabi menarik dariku kain buatan desa Khaibar yang menjadi hamparan tempat tidur kami di kota Madinah, lalu menutupkan ke atas mereka semua. Tangan kiri Beliau memegang kedua ujung kain tersebut sedang yang kanan menunjuk kearah atas sambil berkata “Ya Allah mereka adalah keluargaku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”. Ya Allah mereka adalah Ahlul Baitku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya. Ya Allah mereka adalah Ahlul Baitku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya. Aku berkata “Wahai Rasulullah bukankah aku juga keluargamu?”. Beliau menjawab “Ya benar. Masuklah ke balik kain ini”. Maka akupun masuk ke balik kain itu setelah selesainya doa Beliau untuk anak pamannya, kedua putra Beliau dan Fatimah putri Beliau”.

(Hadits di atas, dikatakan oleh pensyarah, yaitu Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Az-Zain, “Sanadnya hasan.” Lihat Musnad Imam Ahmad, Syarah Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad Az-Zain, hadits no. 26429 jilid 28, cet. I 1416H/1995)

Dalam hadits di atas dapat kita ambil beberapa faedah :

Pertama, Ummu Salamah melaknat kaum syi’ah yang ada di kufah yang telah mengkhianati Husain radhiyallahu ‘anhu sehingga menyebabkan kematian beliau.

Kedua, Ummu Salamah mencintai keluarga Ali.

Ketiga, Ummu Salamah mengkisahkan kisah yang serupa dengan hadits kisa’ riwayat Tirmidzi yang periwayatnya adalah beliau juga dengan sanad yang berbeda, dan pada kisah riwayat Ahmad ini, Nabi mengiyakan bahwa Ummu Salamah adalah termasuk keluarga beliau dan dia pun juga diselimuti oleh Nabi setelah beliau mendo’akan keluarga Fathimah.

Hal di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Ummu Salamah sudah dalam kebaikan (karena ayat thathhir pada dasarnya turun untuk mereka istri-istri Nabi) sehingga Nabi tidak perlu mendo’akan Ummu Salamah lagi dan dia adalah termasuk keluarga beliau.

Orang Syi’ah akan mengatakan bahwa dua hadits tersebut adalah dua peristiwa yang berbeda.

Kita Jawab, bahwa kisah yang diriwayatkan dua hadits tersebut adalah peristiwa yang sama, sama-sama menceritakan peristiwa penyelimutan dan bahkan do’a yang dilafazkan pun sangat mirip. Jika terdapat sedikit perbedaan pada redaksi adalah hal yang biasa, karena jalur sanadnya juga berbeda. Dan kita dapat mensinkronkan kedua hadits tersebut dengan baik, mari kita bandingkan dan perhatikan kedua riwayat tersebut saat Ummu Salamah bertanya kepada Nabi, ternyata terlihat jelas perbedaan pertanyaan yang diajukan oleh Ummu Salamah kepada Nabi dalam dua riwayat tersebut:

Hadits Tirmidzi; “Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”

Hadits Ahmad; “Aku berkata “Wahai Rasulullah bukankah aku juga keluargamu?”. Beliau menjawab “Ya benar. Masuklah ke balik kain ini”. Maka akupun masuk ke balik kain itu setelah selesainya doa Beliau untuk anak pamannya, kedua putra Beliau dan Fatimah putri Beliau”

Pertanyaan Ummu Salamah pada hadits Tirmidzi adalah mengenai apakah dia bersama dengan mereka (keluarga Fathimah), maka Nabi menjawab, “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan” artinya Ummu Salamah sudah dalam kedudukan yang baik yaitu sebagai istri Nabi yang mendapatkan ayat Thathhir, sedangkan keluarga Fathimah adalah keluarga beliau dalam ikatan Nasab yang beliau berharap untuk memasukkan mereka juga sebagai ahlul bait pada ayat thathhir, oleh karena itu merekalah yang sememangnya dido’akan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bukan Ummu Salamah .

Sedangkan pertanyaan Ummu Salamah pada hadits riwayat Ahmad berbeda maknanya dengan pertanyaan Ummu Salamah pada riwayat Tirmidzi (tampaknya ini adalah pertanyaan berikutnya dari Ummu Salamah yang tidak tercatat pada riwayat Tirmidzi dan sebaliknya pertanyaan dalam riwayat Tirmidzi tidak tercatat dalam riwayat Ahmad) yaitu setelah mendapat jawaban dari Nabi bahwa Ummu Salamah tidak bersama keluarga Fathimah dan dia berada pada kedudukan tersendiri yang baik, selanjutnya dia bertanya lagi kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, apakah dia termasuk keluarga beliau, maka Nabi menjawab Ya, dan membolehkan Ummu Salamah masuk dalam selimut beliau setelah selesai do’a beliau untuk keluarga Fathimah.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua hadits tersebut tidak bertentangan, justru saling melengkapi dalam menggambarkan peristiwa yang sama. Allahu ‘Alam.

Syi’ah selanjutnya biasanya terus mengatakan, “Lalu mengapa Ummu Salamah tidak mengetahui akan hal itu dan malah bertanya kepada Nabi apakah beliau termasuk ahlu beliau”.

Kita jawab, hal ini bisa dimaklumi, karena tindakan Nabi yang tiba-tiba memanggil keluarga Ali dan kemudian menyelimutinya merupakan sesuatu yang mengherankan baginya, makanya dia bertanya dan dari riwayat di atas terlihat begitu ayat tersebut turun, Nabi langsung memanggil keluarga Ali dan belum sempat menjelaskan hal tersebut. Hal ini adalah wajar, jika kita menjadi Ummu Salamah, pasti kita akan menanyakan tindakan Nabi yang di luar kebiasaan tersebut, apalagi ketika dirinya tidak diperkenankan (untuk sementara) untuk ikut masuk ke dalam kain kisa’ bersama keluarga Fathimah yang sedang dido’akan oleh Nabi shalallahu ‘alihi wa sallam.

Diantara mereka ada yang akhirnya mengatakan bahwa istri-istri Nabi adalah juga ahlul bait (itu pun mereka akui setelah mereka tidak bisa membantah lagi) tetapi mereka bukan ahlul bait yang disucikan, tetapi ahlul bait yang disucikan adalah ahlul kisa’.

Kita jawab, penjelasan di atas sudah cukup menghancurkan argumentasi mereka.



Kesimpulan

Ayat Thathhir pada surat Al-Ahzab : 33 adalah untuk Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau sebagai ahlul bait beliau pada awalnya, kemudian diperluas maknanya termasuk keluarga Fathimah berdasarkan do’a Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mereka yang terekam pada hadits Kisa’.

Allahu A’lam

No comments:

Post a Comment